Oleh: M Rezky
Habibi R*
Tahun
2019 menjadi tahun pemilu yang memiliki sejumlah catatan penting, 2 (dua)
diantaranya adalah soal deret panjang waktu tahapan kampanye pemilihan umum
(pemilu) yang cukup menguras keringat hingga menimbulkan polarisasi di
masyarakat, khususnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Di tambah kematian
sejumlah penyelenggara pemilu menjadi catatan oleh pena sejarah bahwa kali
pertama pemilu serentak dilaksanakan menimbulkan duka kematian penyelenggara pemilu
yang tidak sedikit. Kendati secara logis kematian tersebut sulit untuk dinalar
oleh akal sehat.
Tentu
hal tersebut harus menjadi refleksi dan renungan bagi mereka yang terpilih
dalam kontestasi pemilu 2019 agar dapat menjalankan amanah di bidang eksekutif
dan legislatif, guna melahirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagai salah satu tujuan dalam bernegara.
Bak
gayung bersambut, riuh politik nasional tahun 2019 sudah usai dan disambut riuh
politik daerah tahun 2020 yang mulai nampak. Mengingat tahun ini menjadi tahun politik bagi daerah kalimantan
selatan, pasalnya kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) mendekati hari
puncak. Tinggal hitungan bulan masyarakat kalimantan selatan dan dibeberapa daerah
di bumi Lambung Mangkurat akan memilih Gubernur, Bupati dan Walikota.
Riak-riak
pesta pilkada untuk memilih orang nomor 1 (satu) di provinsi, kabupaten dan kota ini mulai nampak bermunculan dengan ditandai sejumlah wajah para tokoh di stiker di belakang moda transportasi jenis
angkutan dalam kota dan baliho-baliho serta spanduk-spanduk
yang mulai terpampang di samping ruas jalan protokol, hingga di
pelosok daerah yang melaksanakan pilkada menjadi pemandangan baru bagi masyarakat di tahun
politik kedaerahan ini.
Fenomena bermunculannya sejumlah stiker, baliho dan spanduk yang berisi tentang
deklarasi diri sebagai calon kepala daerah baik oleh pendatang baru hingga para incumbent menarik untuk dicermati. Mengingat hal tersebut merupakan bentuk penyampaian citra diri atau mempromosikan
diri sebagai sang calon kepada masyarakat.
Pertanyaan yang muncul atas itu adalah, apakah pemasangan stiker, baliho dan spanduk sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan
pilkada tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan…? Apabila merujuk
pada UU 1 Tahun 2015 terakhir
dirubah dengan UU 10 Tahun 2016 selanjutnya
disebut UU Pemilihan
serta PKPU 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas PKPU 15 Tahun 2019 yang selanjutnya disebut PKPU, membagi tahapan pilkada menjadi 2 (dua) tahapan, yaitu tahapan
persiapan dan tahapan penyelenggaraan.
Dalam
konteks ini, jika mencermati Pasal 28 ayat (1) huruf a jo Pasal 23 ayat (1) UU
Pemilihan maka pada prinsipnya Bawaslu memiliki tugas dan wewenang melakukan
pengawasan pada tahapan penyelenggaraan. Berkenaan dengan hal itu, dalam
tahapan penyelenggaraan ini terdapat tahapan penetapan pasangan calon yang
ditetapkan oleh KPU pada 8 Juli nanti untuk menentukan pasangan calon sebagai
peserta pilkada dan tahapan pelaksanaan kampanye yang dilaksanakan mulai 11
Juli nanti hingga 19 September 2020 sebagai jadwal masa kampanye yang diatur
dalam PKPU.
Oleh
karena itu maka, maraknya sejumlah stiker, baliho dan
spanduk yang berisi tentang deklarasi diri sebagai calon kepala daerah yang
hari ini sudah bermunculan, secara yuridis-normatif tidak ada aturan ihwal
larangan dan tidak termasuk kategori pelanggaran dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pilkada. Mengingat sebelum adanya
penetapan pasangan calon oleh KPU pada 8 Juli nanti maka tidak ada subjek hukum
yang berkedudukan sebagai pasangan calon yang terdaftar di KPU yang dapat
ditindak oleh Bawaslu.
Oleh
karena itu maka, membedakan nomeklator bakal calon, calon dan pasangan calon
pada prinsipnya menjadi penting. Mengingat perbedaan nomenklator tersebut
memiliki akibat hukum atau implikasi hukum yang berbeda satu sama lain.
Lain
halnya jika sudah ada penetapan pasangan calon oleh KPU, maka terhadap alat
peraga kampanye yang sudah terpasang sebelum masa kampanye pada 11 Juli nanti bagi
pasangan calon wajib menurunkan alat peraga kampanye tersebut dalam waktu 1 x
24 jam sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (4) PKPU 4 Tahun 2017.
Adapun
yang dimaksud dengan alat peraga kampanye adalah semua benda atau bentuk lain
yang memuat visi, misi, dan program Pasangan Calon, simbol, atau tanda gambar
Pasangan Calon yang dipasang untuk keperluan Kampanye yang bertujuan untuk
mengajak orang memilih Pasangan Calon tertentu, yang difasilitasi oleh KPU
Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah dan dibiayai sendiri oleh Pasangan Calon dalam Pasal 1 angka
22 PKPU 4 Tahun 2017.
Singkatnya
fenomena bermunculannya stiker, baleho dan spandok serta sejenisnya pada hari ini
bukanlah ranah pengawasan Bawaslu. Melainkan ranah dari Pemerintah Daerah
setempat khususnya soal izin pemasangan dan selama tidak bermuatan unsur sara,
ujaran kebencian, hoax dll.
Kendati
fenomena maraknya sejumlah stiker, baliho dan spanduk tersebut tidak dilarang,
akan tetapi kekhawatiran yang muncul adalah jangan sampai fenomena hari ini
berimplikasi pada hilangnya atau setidak-tidaknya mengurangi kadar dari esensi tahapan
pelaksanaan kampanye nantinya jika jauh-jauh hari sebelum tahapan kampanye
masyarakat sudah disuguhi sejumlah stiker, baliho dan
spanduk yang berisikan promisi diri calon kepala daerah yang dapat
menurunkan kualitas dari pesta pilkada itu sendiri. Sehingga, kedepan kekosongan
hukum (rechtvacum) aturan soal itu mesti menjadi perhatian bersama baik
oleh KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara serta Pemerintah Daerah untuk
membatasinya.
Batasan Incumbent
dan Kepala Daerah
Dalam
kontestasi pilkada, mencuatnya isu incumbent yang mencalonkan kembali
pada hajatan pilkada menjadi suatu hal wajar dengan dalil melanjutkan program
pembangunan daerah. Akan tetapi yang perlu diperhatikan, UU Pemilihan
memberikan larangan penempatan foto incumbent dalam baliho, spanduk dll
di setiap kegiatan Pemerintah Daerah dimulai pada saat tahapan penetapan
pasangan calon pada tanggal 08 Juli nanti.
Mengapa
hal ini penting untuk diatur, penulis berpandangan ratio legis soal ini
tidak lain karena incumbent berkedudukan sebagai kepala daerah memiliki kekuatan
birokrasi yang dapat mempengaruhi atau menyiasati setiap program Pemerintah
Daerah setempat dengan menempatkan foto incumbent sebagai pasangan calon
yang berkedudukan sebagai peserta pilkada.
Dalam
pada itu, guna menghindari penyalahgunaan kewenangan oleh incumbent diperhelatan
Pilkada, Pasal 71 ayat (2) UU Pemilihan memberikan larangan
untuk incumbent melakukan penggantian atau mutasi pejabat 6 (enam) bulan
sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan
kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Sehingga
apabila dihitung mundur secara yuridis-normatif maka tidak boleh dilakukan
penggantian atau mutasi pejabat mulai pada tanggal 08 Januari 2020 kemarin.
Jika larangan tersebut dilanggar oleh pasangan calon incumbent maka
sanksi pembatalan sebagai peserta pasangan calon pilkada menjadi sanksi yang
tidak dapat dikecualikan.
Sedangkan
apabila yang melakukan penggantian atau mutasi pejabat tersebut adalah kepala
daerah yang tidak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah di pilkada maka
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama
6 (enam) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp
6.000.000,00 (enam juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 190 UU
Pemilihan. Ketentuan tersebut tentunya di satu sisi harus dimaknai sebagai
bentuk menjaga netralitas pejabat aparatur sipil negara (ASN) agar tidak
terjadi conflic of inters dalam perhelatan Pilkada dan di sisi lain
untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh kepala daerah dan incumbent.
Lebih
dari itu, UU Pemilihan juga membatasi kepala daerah yang
tidak mendaftarkan diri sebagai calon untuk tidak menggunakan kewenangan,
program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan
calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan
sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon
terpilih, dengan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan
atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00
(enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)
yang diatur dalam ketentuan Pasal 188 UU Pemilihan
Jelas
maksud aturan ini agar kepala daerah yang bersangkutan tidak menggunakan
kewenangan sebagai pejabat negara untuk menguntungkan kawan politiknya yang
menjadi peserta kontestasi pilkada dan merugikan lawan politiknya.
__________
*Mahasiswa Magister Hukum, Universitas Lambung Mangkurat dan Peneliti, Pusat Kajian Hukum dan Demokrasi (Pusdikrasi)
(Isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi BeritaBanjarmasin.com)
Posting Komentar